Homo Ludens: Manusia, Permainan, dan Kebudayaan

(sumber gambar dari pinterest)

Penulis: Ditya Nur Subagja
Penyunting: Zulfi Al Hakim


Banyak cara mengerdilkan hakikat kelahiran manusia. Salah satunya adalah memberi nama klasifikasi dalam tataran taksonomi. Dalam sejarahnya, proses ini sangat absurd. Sebagai bapak taksonomi modern, Carl Linnaeus memilih tubuhnya sendiri sebagai lectotype dan menamai setiap manusia, Homo sapiens.

Sederhananya, Linnaeus mengatakan bahwa manusia adalah “wise man” atau makhluk yang memiliki pikiran. Masalahnya, Linnaeus hanya mengambil tubuhnya sendiri sebagai objek. Seorang Carl Linnaeus tentu merupakan manusia yang berpikir. Dia adalah seorang petani yang gemar menamai setiap tumbuhan yang dia tanam. Botanis, istilah kerennya. Lantas, bagaimana dengan manusia lain? Apakah mereka juga berpikir dan bijak seperti dirinya?

Tentu pada abad 18 proses semacam ini mendorong pergerakan ilmu pengetahuan. Di Perancis, mikrobiologi kembali mempertanyakan hakikat benda hidup. Penemuan sel mendorong pemahaman bahwa kehidupan berasal dari struktur yang kecil. Di Swedia, seorang botanis dengan sangat pragmatis mengukur sebuah peradaban makhluk yang berjalan dengan dua kaki dan langsung menamainya.

Sebelum Carl Linnaeus menamai spesies ini, di abad ke-14, seorang politikus Romawi bernama Appius Claudius Caecus melahirkan adagium: “Homo faber  suae quisque fortunae” yang berarti “Manusia menciptakan takdirnya sendiri”. Istilah Homo faber juga menjadi alternatif yang mengatakan bahwa manusia merupakan seorang pencipta atau “Man the maker”.

Henri Bergson kemudian menulis The Creative Evolution (1907) yang meminjam terminologi Homo faber sebagai nama dari manusia. Sebagai seorang Darwinis, Bergson percaya manusia berevolusi tidak sepenuhnya dipengaruhi tatanan alam. Bakat manusia sebagai pencipta ini mendorong peradaban manusia untuk bisa memilih jalan terbaik. 

Homo faber yang dimutakhirkan oleh Henri Bergson ini berpegang pada beberapa variabel yang penting. Salah satunya adalah kemahiran manusia untuk menggunakan alat. Baginya, salah satu perbedaan mencolok antara manusia dengan spesies lain adalah kemutakhiran manusia untuk menciptakan sesuatu dan menggunakan alat-alat di sekitarnya. Inilah kenapa “sarang” dari spesies ini bentuknya sangat megah, hingga aktivitas komunal yang dia langsungkan berada pada ruang yang sangat luas.

Seorang sejarawan asal Belanda, Johan Huizinga berpendapat bahwa manusia sebenarnya cenderung pasif. Huizinga melihat sebuah permainan punya peran yang panjang untuk menceritakan sejarah peradaban. Sebuah buku bertajuk Homo Ludens yang dia tulis menceritakan bagaimana elemen permainan menyusup di sendi-sendi peradaban.

Pada pengantarnya, Huizinga menjelaskan bahwa permainan telah ada bahkan sebelum kebudayaan lahir. Kebudayaan bagaimanapun selalu didahului oleh kelahiran manusia. Dalam biologi, seekor anak anjing punya permainan yang tidak pernah diajarkan oleh manusia. Mereka bahkan punya aturan yang tertuang, seperti dilarang menggigit bagian lain selain telinga hingga bagian detail seperti pura-pura terjatuh dan menentukan siapa penyerang dan korbannya.

Dalam bukunya ini, Huizinga mereduksi lima definisi dan aturan permainan, yakni (1) Permainan mendorong kebebasan, (2) Permainan berada di luar kehidupan, (3) Permainan punya aturan ruang dan waktu sendiri, (4) Permainan menciptakan keteraturan, dan (5) Permainan tidak memiliki motif material. Kelima butir definis permainan menurut Huizinga ini juga turut berperan menciptakan istilah ‘magic circle’ yang menurut Huizinga menjadi latar dan tempat di mana permainan berlangsung.

Permainan olahraga seperti sepak bola menurut Huizinga telah berperan menghubungkan permainan dan manusia. Ada semacam aspek yang sulit dijelaskan antara permainan dan ketertarikan orang-orang untuk merayakannya. Satu pendapat Huizinga yang patut digarisbawahi adalah “Pemain bola tidak mempertanyakan alasan mengapa dia harus menggiring bola ke gawang lawan”. Tentu ada semacam pandangan yang bertentangan tatkala aktivitas kebudayaan modern memanjangkan kepentingan olahraga. Kini para pemain bola mendapatkan pendapatan yang fantastis dan ruang permainannya dinikmati oleh orang banyak. Tapi, kita bisa melihat kalau hadirnya ‘magic circle’ di dalam lapangan bola menjadi daya tarik yang lebih besar dan motif material tidak terlibat di dalam lapangan melainkan terjadi di luar kompetisi yang berlangsung selama 90 menit di lapangan seluas 60 kali 100 meter per segi.

Sayangnya, Huizinga menulis buku Homo Ludens pada 1938. Dia lahir prematur 20 tahun sebelum kultur permainan menjadi lebih mutakhir ketika Higginbotham menciptakan sebuah mesin permainan bernama Tennis for Two. William Higinbotham yang merupakan seorang Fisikawan yang terlibat dalam aktivitas destruktif menciptakan bom atom di Manhattan Project ternyata punya ruang rekreasi untuk mencari hiburan. Dirinya memodifikasi sebuah layar CRT untuk seolah-olah menyerupai aspek permainan dalam olahraga tenis untuk direduksi di perangkat layar. 

Untuk beberapa dekade selanjutnya, video game dianggap sebagai bagian dari industri hiburan yang ternyata sangat menguntungkan. Industri yang lahir paling akhir ketimbang musik dan film ini ternyata punya angka pendapatan yang sangat besar. Tentunya ada semacam pengaruh mengapa medium yang memasukkan unsur ‘permainan’ ini menjadi satu yang paling adiktif ketimbang medium lain. Formula ini membuat ‘pemain’ punya pilihan untuk mengikuti aturan di dalam permainan. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan oleh para penikmat musik serta film. Alih-alih mendengar dan menonton jalan cerita, para pemain game bisa mengulangi permainan dengan caranya sendiri.

Kultur video game punya peran besar untuk menjelaskan eratnya hubungan manusia dengan permainan dan kebudayaan. Semakin mutakhir, video game melakukan pencapaian untuk mengubah tatatanan ruang simulakrum. Mari kita berandai-andai jika sebuah game berhasil mencapai media untuk menciptakan simulasi kehidupan. Akankah kita tenggelam pada sebuah kepura-puraan dan memilih ruang simulakrum yang baru ini? Apakah batasan antara hiperealitas akan luntur sehingga persepsi manusia menjadi lebih bias dari sebelumnya?

Setelah Huizinga, seorang sosiologis asal Perancis, Roger Caillois mencitrakan empat elemen permainan dalam karyanya Man, Play, & Games. Keempat elemen ini membentuk sebuah spektrum yang cukup menjelaskan beberapa karakteristik permainan hingga efek-efeknya, yakni Agon, Alea, Mimicry, dan Ilynx.

Agon menurut Caillois merupakan sebuah kompetisi di mana kemenangan bertumpu pada persistensi. Semakin gigih seseorang, usahanya bakal berbuah kemenangan. Sebagai contoh, permainan seperti balapan, pertarungan, hingga aktivitas fisik yang menjadi corak utamanya termasuk dalam nilai ini. Sebagai bandingan lain, Alea menawarkan ‘undian’ sebagai aspek kunci di dalam permainan. Aktivitas semacam ini erat kaitannya dengan permainan judi di mana faktor keberuntungan jadi aspek yang mempengaruhi.

Dua nilai lain yakni Mimicry dan Ilynx berbicara soal sejauh mana permainan mendistorsi kenyataan. Mimicry yang erat dengan mimesis tentu menyebutkan kalau permainan bisa saja meniru aspek yang erat dengan kehidupan seperti permainan simulasi yang jadi fitur penting dalam kultur video game. Sementara itu, Ilynx mendistorsi kenyataan lebih jauh dan memisahkan permainan dengan kenyataan. Sebagai bandingan, permainan yang memiliki resiko besar seperti paralayang hingga sirkus masuk ke dalam klasifikasi ini.

Dalam kebudayaan, proses mayor seperti peperangan hingga sesuatu yang minor seperti tumbuh kembang seorang anak bisa dilihat dengan kacamata permainan. Hal ini berlangsung di luar hasrat biologis manusia yang sederhana untuk bertahan hidup dengan bernafas, makan, bergerak, dan mengeluarkan zat sisa.

Hadirnya konsep mengenai Homo ludens sebagai nama biologis untuk manusia menandakan hal yang progresif. Homo faber timbul sebagai usaha manusia mengamini penciptaan kebudayaan. Selanjutnya, Homo sapiens timbul sebagai proses perenungan. Apakah ini berarti Homo ludens merupakan bukti kalau manusia telah berevolusi menjadi makhluk yang merayakan kebudayaan dengan nilai-nilai permainan?

Posting Komentar

0 Komentar