Ngulik Ai: Machine Learning, Art Generator, UU

 

Penulis         : Mutiara Januar Widyaningsih
Penyunting : Karina Alya

Kami bertemu di kafe di hari Senin sore itu. Mas-mas yang kuliahnya harus merantau ke Jogja ini mengenakan baju hitam bergaris emas dan merah dengan bordir nama PTN tempatnya menuntut ilmu. Ia sempat salah masuk kafe tetapi akhirnya bisa sampai ke kafe tempat kami janjian dengan selamat sentosa. Sambil menyeruput kopi susunya, ia mengajari saya dasar-dasar machine learning, objek yang sedang hangat akhir-akhir ini.

Namanya Subqi Anjaya, mahasiswa perguruan tinggi negeri yang ada di Jl. Depok, Yogyakarta. Ya, betul, Universitas Gadjah Mada. Ia merupakan mahasiswa jurusan Fisika yang melintas ke daerah Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan sejak ia magang di Bangkit, salah satu program dari Kemendikbud yang bermitra dengan Google, GoTo, dan Traveloka. Saya ingat ketika ia bercerita tentang lintas jurusan, kurang lebih jawabannya begini, “realistis saja dengan jurusan saya.” 

Memang, sih, sekarang ini yang dibutuhkan oleh banyak perusahaan adalah orang ilkom yang melek teknologi dan ilmu-ilmu terapan. Orang-orang dengan ilmu murni sepertinya butuh lintas disiplin untuk survive dunia kerja (termasuk saya nantinya). 

Kembali ke Ai. Subqi menjelaskan bahwa seperti namanya, Ai merupakan kecerdasan buatan, suatu mesin cerdas yang dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia. Ai ini memiliki proses berpikir seperti otak manusia yang dalam prosesnya sama-sama membutuhkan tes atau latihan tertentu untuk mencapai apa yang diinginkan. Proses pembelajaran Ai ini disebut machine learning atau ML, subjek yang Subqi dalami. Ibarat guru, Subqi adalah gurunya guru. Ia akan membuat kode pemrograman, mengunggah dataset, memberi perintah, lalu melatih Ai sampai ia mendapatkan apa yang jadi tujuannya.

Hal itu membuat saya penasaran bagaimana pendapatnya mengenai Ai art generator, sebuah art generator problematik yang disebut mencuri data seniman untuk menghasilkan karya digital. Menurutnya sebagai orang yang berada di belakang Ai, yang dilakukan Ai bukanlah mencuri data seniman karena Ai tidak menyimpan dataset. Dataset ini adalah karya-karya seniman tertentu yang dijadikan contoh supaya Ai belajar untuk kemudian bisa menghasilkan karyanya sendiri sesuai brief yang diberikan.

Pada dasarnya, Ai mengembangkan idenya sendiri untuk membuat karya seni. Mungkin setali tiga uang dengan apa yang kita sebut inspirasi. Inspirasi bukanlah bentuk pencurian atau plagiasi dalam karya seni. Perusahaan Adobe, jelas Subqi, menengahi konflik ini dengan membayar royalti ke seniman yang karyanya digunakan untuk dipelajari oleh Ai. Untuknya, lebih baik menggunakan dataset yang berasal dari open source atau kepunyaan publik untuk menghindari masalah ini.

Lalu apakah pegiat seni ini harus khawatir dengan masa depan mereka?”

Tanpa pikir panjang, ia menjawab, “Semua jenis pekerjaan memiliki potensi digantikan oleh Ai,” katanya menyatakan secara tidak langsung bahwa sudah sewajarnya kita khawatir.

Saya sependapat dengannya. Di masa lalu, orang berpikir akan ada mobil terbang yang akan mengantarkan manusia berkeliling dunia. Alih-alih memiliki mobil terbang, kini kita justru memiliki internet yang memadukan seluruh isi dunia ke dalam satu tempat. Kemudian seperti meteor datang, umat manusia mempunyai kecerdasan buatan yang  bahkan bisa menghasilkan output kreatif, output yang dulunya dijadikan pembeda antara robot dan manusia. Bukan mustahil bila di masa depan Ai ini bisa menghasilkan emosi seperti manusia, saya mengutip perkataan Subqi.

Akan tetapi, kebanyakan khawatir juga tidak lebih baik. Per tahun 2024, hasil gambar oleh Ai masih belum akurat, terutama pada anatomi manusia. Pada karya tulis, terutama fiksi, terkadang Ai tidak konsisten dengan plotnya atau terus mengulang pada kalimat tertentu. Jadi, saya rasa manusia masih lebih unggul di bidang kreatif. Mengutip Subqi, “Feeling hasil Ai dan manusia itu beda.” 

Hal ini membuat saya berpikir, bagaimana jika hasil karya Ai ini dijadikan sebagai genre alternatif diluar genre-genre yang telah ada?

Meskipun demikian, saya memandang pemerintah perlu membuat UU terkait Ai dan serba-serbinya untuk mencegah penyalahgunaan. Jangan sampai alat yang diciptakan untuk memudahkan manusia berbalik mengancam umat manusia, atau yang lebih parah: dijadikan alat saling serang manusia. Salam Terminator!    


Posting Komentar

0 Komentar