Penulis : Annisa Salma
Penyunting : Hanadia Mumtaz
Jakarta, 25 Juni 2025 — Sawala Forum merupakan forum diskusi hasil kolaborasi antara yayasan Aksi Keadilan Indonesia dan Art Speak Justice. Forum diskusi lintas bidang ini mengangkat topik tentang bahaya narkotika dan bagaimana seni dapat berperan dalam kampanye penyadaran publik. Diskusi yang berlangsung intens ini melibatkan akademisi, aktivis, budayawan, hingga praktisi hukum. Dalam forum ini, narasumber aktif membedah kompleksitas narkotika dari berbagai sisi, mulai dari sejarah, kebijakan, budaya, hingga strategi komunikasi publik.
Seniman Edo Wallad menyoroti bahwa kampanye bahaya narkotika selama ini kurang menyentuh masyarakat karena pendekatannya kaku. Ia menekankan pentingnya pendekatan seni—puisi, musik, dan teater—untuk merekam ketidakadilan dan membangun empati publik. Komunitas yang ia bentuk, Bunga Matahari, aktif menggelar ruang baca puisi yang menjadi wadah dialog kritis sekaligus bentuk perlawanan kreatif terhadap marginalisasi.
Tidak hanya diskusi, forum ini juga memberikan ruang bersuara bagi seniman melalui pameran karya. Pameran karya pada forum ini menyuarakan suara-suara kaum marginal yang serig kali menjadi kambing hitam dalam penegakkan hukum narkotika, seperti rakyat kecil dan perempuan. Beberapa karya yang dipajang pada pameran karya di Sawala Forum antara lain: lukisan, lukisan komik, hingga dekorasi dinding.
Berikut beberapa karya yang dipamerkan di Sawala Forum
Nedipitulung karya Yogkus
Narkotika dalam Sejarah dan Politik Kolonial
Diskusi dibuka dengan penjelasan mengenai definisi narkotika: zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, yang dapat menimbulkan kecanduan dan terbagi dalam tiga golongan. Golongan I bersifat sangat adiktif dan tidak diperuntukkan untuk pengobatan, sementara golongan II dan III memiliki potensi penggunaan medis.
Sejarawan menjelaskan bahwa konsumsi bahan-bahan seperti sirih dan tembakau telah menjadi bagian dari budaya hiburan masyarakat Nusantara sejak abad ke-10. Kedatangan Portugis membawa tembakau sebagai alternatif hiburan, dan tak lama kemudian, opium pun masuk melalui jalur perdagangan VOC. Awalnya hanya dikunyah, opium kemudian dihisap dan menjadi komoditas ekonomi penting bagi pemerintah kolonial. Opium bahkan menjadi sumber utama pendapatan negara yang dikuasai oleh pelaku dagang etnis Tionghoa.
Namun, penggunaan opium juga membawa dampak sosial yang besar: kecanduan, kekerasan, jeratan utang, hingga kemiskinan. R.A. Kartini bahkan menyebut opium sebagai "wabah" dan "kutukan yang jahat." Ambivalensi ini terlihat jelas saat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjalankan politik etis dengan mengklaim standar kesehatan penggunaan opium sambil tetap memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan.
Dialog Kebudayaan: Sastra, Herba, dan Representasi Media
Dalam sesi “Dialog Kultural”, sejarawan Dr. Sri Margana memaparkan penelitian tentang seorang pecandu opium di abad ke-19 yang ditulis dalam manuskrip Jawa. Dari catatan itu tergambar bahwa pecandu dikriminalisasi secara sistemik dan penggunaan opium dijadikan komoditas oleh kekuasaan kolonial. Louis Frederic Diengeman, seorang pejabat kolonial, bahkan membentuk aliansi sastra propaganda untuk menulis karya-karya anti-candu dalam berbagai bahasa lokal, memperlihatkan bagaimana seni digunakan untuk membentuk opini publik.
Berto Tukan menyoroti pentingnya pelestarian herba tradisional, termasuk ganja, dalam kerangka budaya dan kesehatan. Ia menekankan bahwa herba bukan sekadar bahan konsumsi, tapi juga warisan budaya yang harus dicatat, dipelihara, dan dipublikasikan secara ilmiah dan etis.
Purnama Ayu Rizki, Managing Editor Magdalene.co, dari perspektif media menyampaikan bahwa perempuan sering menjadi objek framing buruk dalam pemberitaan narkotika. Judul-judul berita cenderung sensasional, menekankan orientasi seksual atau status sosial tanpa mempertimbangkan konteks struktural, seperti apakah ia pengguna, korban, atau pengedar. Ia menyerukan perlunya etika jurnalistik yang tidak mengeksploitasi identitas dan wajah tahanan.
Dialog Kebijakan: Ganja, Kratom, dan Tantangan Regulasi
Dalam sesi “Dialog Kebijakan”, Dr. Bina Ampera Bukit menegaskan bahwa narkotika seperti ganja, sabu, dan psikotropika dilarang penggunaannya dalam produksi dan hanya boleh dimanfaatkan dalam batas-batas medis tertentu. Namun, Aisya Humaida dari LBH Masyarakat memberikan perspektif yang berbeda: ganja dan kratom sebenarnya memiliki potensi medis dan kosmetik yang besar, bahkan sudah digunakan luas di luar negeri. Namun, hingga kini, keduanya masih dilarang di Indonesia dan penelitian pun kerap dibatasi oleh kerangka hukum yang represif.
Ia menekankan bahwa legalitas tidak seharusnya menjadi landasan awal dalam penelitian, melainkan justru manfaat sosial dan kesehatanlah yang harus menjadi fokus. Pelarangan ganja dan kratom seringkali lebih bersifat politis daripada ilmiah.
0 Komentar