Penulis : Zahra Raudhatul Jannah
Penyunting : Alsa
Penyunting : Alsa
“Kuburan kami berserakan di mana‐mana di berbagai negeri, di berbagai benua. Kami adalah orang‐orang Indonesia yang dicampakkan dari tanah airnya. Paspor kami dirampas sang penguasa tak boleh pulang ke kampung halaman tercinta.” (Hamid, 2006).
Kutipan di atas merupakan penggalan dari sebuah puisi yang berjudul “Kuburan Kami Ada Di Mana-Mana” karya Chalik Hamid, seorang eksil yang diasingkan di Amsterdam, Belanda.
Beberapa waktu belakangan, media sosial X ramai membincangkan penayangan sebuah film dokumenter berjudul “Eksil” yang disutradarai oleh Lola Amaria. Hal yang menjadikan film ini ramai diperbincangkan, yaitu karena penayangannya yang terbatas hanya di beberapa tempat saja. Selain itu, film ini juga digadang-gadang menguak sisi lain dari sejarah Indonesia.
Menurut KBBI, kata eksil sendiri berarti 'keluar atau terpinggirkan'. Eksil berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu exile yang berarti terasing, atau dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumahnya. Istilah eksil dalam film ini merujuk pada para "eksil" atau warga negara Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah ke negara lain.
Dalam film ini, ditampilkan sebanyak 10 orang tokoh “eksil”, yaitu Asahan Aidit, Chalik Hamid, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Kuslan Budiman, Sardjio Mintardjo, Sarmadji, Tom Iljas, dan Waruno Mahdi yang menceritakan kisah mereka ketika diasingkan oleh pemerintah Indonesia ke berbagai negara, seperti China, Uni Soviet, Belanda, Cekoslowakia, Jerman, dan Swedia.
Pada mulanya, tokoh-tokoh ini merupakan mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa pendidikan ke luar negeri dari Presiden Soekarno. Namun, pada saat pemerintahan berpindah ke tangan Presiden Soeharto, tokoh-tokoh ini dituduh sebagai komunis yang berasosiasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengalami konflik hebat pada tahun 1965. Akibat dari hal tersebut, status kewarganegaraan para mahasiswa ini sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dicabut secara sewenang-wenang oleh pemerintah Indonesia sehingga para mahasiswa ini kehilangan berbagai haknya, salah satunya hak menggunakan paspor untuk kembali ke tanah air. Bukan hanya itu, orang terdekat dan keluarga mereka di Indonesia juga mengalami perlakuan yang tidak baik dari pemerintah. Mulai dari dimata-matai, diintimidasi, ditangkap, disiksa, dihilangkan secara paksa, hingga mengalami peristiwa pembunuhan massal.
Selama berpuluh-puluh tahun lamanya para eksil hidup dalam kecemasan. Berbagai macam nasib menimpa diri mereka. Ada yang berusaha mengirim surat kabar kepada keluarga di Indonesia meski mendapatkan penahanan dari aparat, ada yang mengalami trauma hingga merasa bahwa orang-orang baru yang dikenalnya merupakan mata-mata yang dikirim oleh pemerintah Indonesia, ada yang harus berpindah status kewarganegaraan demi mendapatkan kesempatan untuk kembali ke tanah air, hingga ada pula yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat sekitar bahkan keluarga sendiri ketika berhasil kembali ke tanah air.
Para eksil ini harus hidup di bawah bayang-bayang jeruji tanpa besi yang diciptakan oleh rezim Orde Baru. Mereka harus menerima nasib buruk yang menimpa dirinya tanpa mengetahui sebenarnya apa kesalahan mereka.
“Orang menduga bahwa kami hidup di luar negeri ini senang, padahal pikiran kami tetap ke tanah Air” –Chalik Hamid
Melalui film dokumenter yang berdurasi kurang lebih 2 jam ini, penonton tidak hanya disuguhkan hiburan semata melalui indahnya pemandangan-pemandangan di luar negeri yang memanjakan mata, tetapi penonton diajak turut serta untuk terbuka pikirannya, mengenang kembali sejarah Indonesia yang ternyata selama ini memiliki sisi kelam di dalamnya.
Selama ini, pendidikan sejarah di sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) selalu mengajarkan kepada muridnya bahwa yang dilakukan oleh orang-orang PKI merupakan hal yang salah. Nyatanya, ada fakta lain yang ditutupi oleh pemerintah Indonesia mengenai kebenaran yang sesungguhnya bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak sepenuhnya bersalah dan pemerintah Indonesia pun tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menguatkan sebuah perspektif bahwa ternyata benar, sejarah memang dicatat oleh sang pemenang, bukan sang pemilik kebenaran.
Pemerintah Indonesia sepatutnya bertanggung jawab atas kasus pengasingan para eksil karena kasus ini termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang harus diadili. Sayangnya, sampai detik ini pemerintah masih terus menutup telinga dan mata hatinya akan kasus ini. Bahkan, pemerintah juga turut membungkam orang-orang yang mencoba untuk menguak dan menyuarakan kasus ini. Selain itu, penayangan film dokumenter “Eksil” juga mendapatkan larangan di beberapa daerah tanpa alasan yang jelas.
Sebagai seorang warga negara Indonesia, hendaknya kita berpikir lebih kritis mengenai isu-isu yang terjadi di negara ini. Kita harus mengedepankan perspektif korban, jangan mudah mempercayai suatu informasi atau bahkan sampai berhasil disuap oleh narasi sejarah palsu yang dibuat oleh pihak tidak bertanggung jawab. Semua pihak, baik itu masyarakat biasa atau pemerintah sekalipun, tidak boleh mendapatkan perlindungan apabila terbukti melakukan tindak kriminal. Semua yang bersalah harus diadili tanpa pandang bulu dan semua kebenaran harus ditegakkan.
Hidup korban, jangan diam. Jangan diam, LAWAN!
Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20240207212115-220-1060001/review-film-eksil
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_lapsus_eksil_bui
https://19651966perpustakaanonline.files.wordpress.com/2022/07/chalik_hamid_print_14juli2022.pdf
0 Komentar